Cari Blog Ini

Minggu, 06 Maret 2011

makalah politik


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Di akhir abad 20, konsep alienasi dan keterasingan telah digunakan oleh banyak filsuf, ilmuwan sosial, teolog, seniman, dan kritikus untuk menggambarkan sejenis eksistensi yang telah menjadi hal yang umum di dunia modern. Eksistensi semacam ini seringkali dipandang sebagai kehidupan yang tidak diinginkan. Dalam istilah umumnya, orang yang teralienasi biasanya digambarkan sebagai orang yang entah bagaimana tercerabut dari diri "sejati"-nya, budayanya, alam, orang lain, kehidupan politik, bahkan Tuhan. Kebanyakan sastra modern di Barat telah menjadi periwayatan tentang ketragisan, kekalahan diri, dan seringkali upaya fatal manusia untuk merasa betah berada di dunia.
Sementara itu, gagasan lain tentang alienasi yang cukup menarik datang dari Jacques Lacan. Lacan adalah seorang psikoanalisi dan tidak bergulat langsung dengan filsafat. Dalam pandangannya, alienasi adalah poin dasar dari identifikasi manusia.Dalam alienasilah anak memperoleh pengalaman keterpisahan pertamanya, yang menjadi operasi pertandaan yang krusial.
Perbedaan teori politik di Negara berkembang kerap kali menibulkan perbedaan output politik. Politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional. Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya mempengaruhi out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal.
Politik adalah kajian ilmu social, yang tidak bisa lepas dari aktivitas kehidupan manusia. Mengapa demikian? Karena manusia adalah makhluk social. Sehingga bagaimanapun orang memandang politik, selama manusia ada dan berupaya untuk melanjutkan peradabannya, maka selama itu pula politik aka nada bersama berdampingan dengan manusia. Sekalipun saat ini politik telah mengalami berbagai pergeseran, namun rasanya kita tidak harus dan tidak bisa begitu saja dalam menilai baik tidak politik, karena pada dasarnya poltik tu dikendalikan oleh manusia, maka wajar kalu suatu ketika politik mengalami sedikit perubahan makna Karena manusia sendiri apda dasarnya selalu berupaya untuk berubah. Hanya tingal kita bisa tidak melihat sisi baik dari politik itu.

B.        Rumusan Masalah
1.    Bagaimana penjelasan terhadap teori alienasi?
2.    Apa yang dimaksud dengan games theory?
3.    Hakikat politik, arti dan sejarah perkembangannya?
4.    Konsep-konsep perpolitikan?
5.    Pola dan bentuk-bentuk politik?
6.    Politik modernisasi serta integritasnya?
7.    Dan kajian istimewa tentang partai politik?

C.       Tujuan Masalah
1.    Memenuhi standar nilai dalam pelajaran teori politik.
2.    Untuk mengetahui tentang teori alienasi.
3.    Mengetahui perkembangan politik di Negara berkembang.
4.    Untuk mengetahui bagaimana politik bangsa masa kini







BAB II
TEORI POLITIK
A.    TOERI ALIENASI
Menurut Oliver Kelly, alienasi bukanlah alienasi spekular dari tahapan cermin namun alienasi diperlukan untuk pertandaan dan relasi subjek kepada bahasa. Sebagaimana bahasa menjadi yang terpenting, alienasi yang inheren dalam bahasa juga menjadi yang terpenting. Bahasa, menurut Lacan, merupakan alienasi dan kekerana budaya yang tersembunyi. Lacan menggunakan retorika alienasi, namun kita tidak dapat menyimpulkan bahwa dia mencoba memperlihatkan seluruh kebudayaan manusia sebagai kekerasan dan kejahatan.
Konsep alienasi dan keterasingan itu penting jika ingin memahami kehidupan di dunia kontemporer,bahkan untuk memahami eksistensi manusia yang ditemukan kapanpun atau dimanapun. Secara lebih langsungnya lagi, dengan memahami konsep ini kita akan terbantu untuk memahami eksistensi dari orang-orang yang, dikarenakan warna kulit, jenis kelamin, budaya, agama, atau status ekonomi, secara paling dramatis dipisahkan dari budaya tempat mereka hidup. Penggambaran bahwa manusia modern adalah manusia yang teralienasi atau terasingkan adalah kontroversial. Beberapa kontroversi tersebut disebabkan oleh asosiasi konsep ini dengan karya Karl Marx serta para pengikut politik dan intelektualnya. Selain itu, umumnya orang membuat kesalahan serius ketika mencoba mempelajari konsep ini secara serius dikarenakan konotasi Marxisnya. "Alienasi" dan "Keterasingan" telah memiliki makna yang sangat berbeda ketika konsep tersebut muncul dalam karya para pemikir yang berbeda.
Seluruh konsep alienasi ini di ungkapkan pertama kali dalam dunia barat pada konsep pemujaan berhala dalam konsep perjanjian lama essensi apa yang disebut para nabi sebagai “Syirik”. Bagi Marx, Alienasi dalam proses kerja, dari produk kerja dan lingkungan, tidak bisa dipisahkan dengan alienasi dari diri manusia sendiri, dari sesama manusia dan alam. Manusia yang teralienasi ini bukan hanya teralienasi dari sesamanya, tetapi juga teralienasi dari keadaan speciesnya, kedua alienasi bersifat alamiah dan spiritual. Alienasi dari esensi manusia mengarah pada egotisme eksistensial, yang digambarkan Marx sebagai esensi manusia yang menjadi” sebuah alat eksistensi individualnya. Alienasi mengarah pada pemeliharaan semua nilai.
Teori alienasi atau keterasingan, sebagaimana diekspresikan dalam tulisan-tulisan Karl Marx muda (khususnya dalam Manuskrip 1844), merujuk ke pemisahan hal-hal yang secara alamiah milik bersama, atau membangun antagonisme di antara hal-hal yang secara pas sudah berada dalam keselarasan. Dalam penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya” (Gattungswesen, biasanya diterjemahkan sebagai species-essence atau 'esensi spesis,' atau species-being). Marx percaya bahwa alienasi merupakan hasil sistematik. .
Teori-teori Marx ini mengandalkan pada Esensi-esensi Kekristenan (1841) karya Feuerbach, yang berpendapat bahwa gagasan tentang Tuhan telah mengasingkan ciri-ciri makhluk manusia. Stirner akan membawa analisis itu lebih jauh, dengan mendeklarasikan bahwa bahkan “kemanusiaan” itu sendiri merupakan pengasingan dari individu. Marx dan Engels menanggapi pandangan itu dalam Ideologi Jerman(1845).
Empat Jenis Alienasi
Teori Alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industrial yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka, karena tidak lagi memiliki kontrol atas pekerjaan mereka.
Marx mengatribusikan empat jenis alienasi pada buruh di bawah kapitalisme.
1.         Manusia teralienasi dari alam.
2.         Manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri.
3.         Manusia teralienasi dari species-being (dari dirinya sebagai anggota dari human-species).
4.         Manusia teralienasi dari manusia lain.
Bentuk lanjut dari keterasingan ini adalah keterasingan kaum proletar itu sendiri dari kehidupan mereka yang berinti pada pekerjaan, namun terasing dalam bekerja itu sendiri. Pada dasarnya mereka menyadari apa keterasingan mereka terhadap kehidupan ini, namun dengan ilusi yang diciptakan oleh pemilik modal dalam bentuk upah sebagai imbalan dari apa yang telah mereka kerjakan membuat para pekerja ini tidak menyadari keterasingan mereka tersebut. Hal ini menciptakan keresahan sosial yang menurut Marx menciptakan pelarian pada agama.
Kembali pada teori alienasi, bukan hanya kaum proletar yang mengalami alienasi, melainkan juga kaum kapitalis yang juga terasing dari kehidupan mereka. Kapitalis tersebut telah sedemikian rupa terasing dari kehidupan mereka selain mencari keuntungan material. Namun, yang terjadi dalam alienasi kaum kapitalis adalah semakin terjaganya kemapanan kondisi mereka dalam strata social mereka.Dari segi ekologis, terjadi keterasingan terhadap lingkungan dalam, baik bagi kaum proletar maupun kaum kapitalis. Hal yang terjadi dalam kaum proletar berkaitan dengan kebebasan yang melalui alienasi-alienasi akibat kegiatan berkerja mereka telah terenggut. Di sisi lain, bentuk keterasingan dari kaum kapitalis terhadap lingkungan adalah bagaimana mereka memperlakukan lingkungan tersebut hanya sebatas faktor produksi yang dapat mendukung pencapaian tujuan utama mereka, yaitu meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kontra dengan yang terjadi pada kaum proletar, kaum kapitalis yang menganggap diri mereka memiliki kebebasan sepenuhya untuk mengeksploitasi berbagai potensi alam untuk mencapai tujuan utama mereka. Yang terjadi dalam alienasi kaum kapitalis terhadap lingkungan merupakan bentuk pengabaian kondisi lingkungan yang dilakukan secara sengaja berkaitan dengan tujuan mereka, dengan kata lain, kaum kapitalis telah terbutakan oleh tujuan material mereka dalam melihat kondisi lingkungan.
Dalam kasus alienasi terhadap lingkungan yang pada dasarnya berimplikasi terhadap kehidupan pada masing-masing kelas.Meskipun Marx tidak pernah secara langsung mengungkapkan teori alienasi dalam terhadap lingkungan ini, namun dengan tujuan Marx yang berusaha menggambarkan masyarakat ideal tanpa kelas dan manusia dapat hidup dalam harmoni, revolusi atas alienasi terhadap lingkungan jelas juga diiperlukan demi mencapai kehidupan harmoni tersebut.
Alienasi menurut Marx bukan hanya berarti bahwa manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika menguasai dunia, tetapi juga berarti bahwa dunia ( alam, benda dan manusia sendiri) tetap asing bagi manusia. Dunia berdiri diatas dan menentang manusia sebagai objek, meskipun dunia bisa menjadi objek ciptaan manusia. Alienasi pada dasarnya melanda dunia dan manusia secara pasif dan reseptif sebagai subyek yang terpisah dengan objek.
Bagi Marx, proses alienasi diungkapkan dalam kerja dan pembagian buruh. Kerja baginya adalah keterhubungan aktif manusia dengan alam, penciptaan sebuah dunia baru, termasuk penciptaan dirinya sendiri. Marx melanjutkan lebih jauh. Dalam kerja yang tidak teralienasi manusia bukan hanya mewujudkan dirinya sebagai seorang individu, tetapi juga sebagai sebuah makhluk species. Bagi marx, juga bagi Hegel dan banyak pemikir abad pencerahan lain, setiap individu mempresentasikan species, yakni kemanusiaan sebagai keseluruhan universalitas manusia : perkembangan manusia terhamparnya seluruh kemanusiaannya. Dalam proses kerja, manusia “ tidak lagi memproduksi dirinya hanya secara intelektual, sebagaimana dalam kesadaran, tetapi secara aktif dan penuh rasa, dan melihat bayangnya sendiri disebuah dunia yang telah dibentuknya. Oleh karena itu ketika buruh yang teralienasi oleh produksinya dari manusia, dia juga menjauhkan kehidupan speciesnya, objektifitas nyatanya sebagai sebuah makhluk species, menghilangkan kelebihannya dibanding binatang, begitu jauh sehingga tubuh anorganis dan wataknya lenyap. Hanya ketika buruh teralienasi mentransformasikan aktifitasnya secara bebas dan memiliki tujuan sendiri menjadi sebuah alat, dia mentransformasikan sebuah species manusia, menjadi alat eksistensi fisik. Kesadaran, yang memiliki manusia dari speciesnya, ditransformasikan melalui alienasi sehingga kehidupan species menjadi sebuah alat untuknya.” Marx berasumsi bahwa alienasi kerja yang mengalir sepanjang sejarah mencapai puncaknya dalam masyarakat kapitalis, dan bahwa kelas pekerja menjadi kelompok yang paling teralienasi. Asumsi ini didasarkan pada ide bahwa pekerja, yang tidak mempunyai peran untuk menentukan arah kerjanya, yang dipekerjakan sebagai bagian dari mesin yang dilayani, ditransformasikan menjadi barang yang bergantung pada modal. Alienasi kerja dalam produksi manusia jauh lebih besar daripada alienasi yang terjadi ketika produksi dikerjakan.
Kemudian yang ditulis Marx dalam Capital: “ Di dalam sistem kapitalis, semua metode untuk membangkitkan produktivitas sosial buruh dihasilkan oleh buruh individual;semua alat untuk mengembangkan produksi mengubah dirinya menjadi sebuah alat untuk menguasai dan untuk mengeksploitasi pembuatnya. Alat-alat tersebut merusak buruh sehingga menjadi sekedar bagian dari manusia, mendegardasikan manusia sampai menjadi bagian dari mesin, menghancurkan setiap sisa daya tarik dalam kerjanya dalam mengubah buruh menjadi pekerja yang dibenci. Alat-alat tersebut memisahkan potensialitas intelektualnya daridiri buruh sebagaimana sains yang dimilkinya sebagai sebuah kekuasaan yang independen.”Bagi Marx Alienasi dalam proses kerja, dari produk kerja dan lingkungan, tidak bisa dipisahkan dengan alienasi dari diri manusia sendiri, dari sesama manusia dan alam. Manusia yang teralienasi ini bukan hanya teralienasi dari dari sesamanya, tetapi juga teralienasi dari ke-ada-an speciesnya, kedua alienasi bersifat alamiah dan spiritual. Alienasi dari esensi manusia mengarah pada egotisme eksistensial, yang digambarkan Marx sebagai esensi manusia yang menjadi” sebuah alat eksistensi individualnya. Buruh yang teralienasi itu terasing dari tubuhnya sendiri, alam eksternal, kehidupan mental dikehidupan manusia.”Alienasi mengarah pada pemeliharaan semua nilai. Dengan membuat ekonomi dan nilai-nilainya-“keuntungan kerja, hemat dan ketenangan hati”-sebagai tujuan hiudp yang tertinggi, manusia telah gagal mengembangkan nilai-nilai yang tertinggi,manusia gagal mengembangkan nilai-nilai moral yang benar,”kaya dengan hati nurani, kebenaran dan lain sebagainya. Bagaimana saya dapat menjadi benar jika saya tidak hidup, dan bagaimana saya dapat memiliki hati nurani jika saya tidak menyadari segala sesuatu?”. Dalam keadaan teralienasi, setiap bidang kehidupan, ekonomi dan moral, menjadi independen dari bidang kehidupan lainnya” setiap bidang kehidupan terkonsentrasi pada sebuah bidang kegiatan khusus yang teralienasi dan dengan sendirinya teralienasi dengan bidang kegiatan lainnya.
B.       POLITIK LUAR NEGERI DI NEGARA BERKEMBANG
Jika faktor-faktor domestik itu menentukan kebijakan luar negeri maka kondisi negara-negara itupun ditinjau dari segi perkembangan ekonomi memberikan nuansa terhadap perilakunya di dunia internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negara dalam konteks ekonomi adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Artikel ini akan mengulas pendekatan terhadap studi politik luar negeri negara- negara berkembang. Namun sebelum sampai pada kajian terhadap kebijakan eksternal negara berkembang dilakukan terlebih dahulu survai singkat terhadap kerangka teoritis studi politik luar negeri.
Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri1. Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini memiliki kelemahan adalah asumsi kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang disebut rasional oleh peneliti sering dianggap rasional oleh yang lainnya. Bahkan ada kelemahan lainnya bahwa model seperti ini menyandarkan pada intuisi dan observasi.
Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam "kotak hitam" pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif.
Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partai- partai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat - termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri - mampu mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan pengaruhnya juga.
Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan.
Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu- isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif.
Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebut- sebut "kurang berkembang" atau "tidak berkembang". Namun demikian studi terhadap Negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak.
Politik luar Negeri Negara Berkembang
Sejauh ini seperti dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany2, ada tiga pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.
Pertama, pendekatan psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri sebagai fungsi impuls dan idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut pandangan ini, raja-raja dan presiden merupakan sumber politik luar negeri. Oleh karena itu perang dan damai merupakan selera pribadi dan pilihan individual.
Dalam hal ini politik luar negeri dipersepsikan bukan sebagai aktivitas yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan seperti ditulis Edward Shill tahun 1962 sebagai "bagian dari hubungan masyarakat". Tujuannya, memperbaiki citra negara, meningkatkan popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari kesulitan-kesulitan domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan eksternal.
Terhadap pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama, pendekatan ini membuat politik luar negeri tampak seperti sebuah kegiatan irasional, bukan masalah analisis sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini mengabaikan konteks (domestik, regional dan global) dimana politik luar negeri diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan seperti ini mengabaikan fakta bahwa karena kepentingan mereka dalam survival politik, sebagian besar pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang berlawanan dengan sikap dominan, perasaan publik dan realitas politik.
Memang sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks pembuatan kebijakan mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan tipe yang lainnya. Atau bagaimana faktor idiosinkratik pemimpin mungkin mengubah konteks, mempengaruhi orientasi politik luar negeri pemimpin lainnya.
Kedua, pendekatan negara-negara besar yang dominan di kalangan pakar-pakar realis seperti Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar negeri sebagai fungsi konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar negeri negara-negara berkembang dipandang lemah otonominya. Negara berkembang dipengaruhi rangsangan ekstern mereka bereaksi terhadap prakarsa dan situasi yang diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama pendekatan ini mengabaikan sumber-sumber dalam negeri dalam politik luar negeri.
Ketiga, pendekatan reduksionis ataumode l-builders. Pendapatnya, politik luar negeri negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan perhitungan keputusan yang membentuk politik luar negeri negara-negara maju. Perbedaan dasarnya adalah kuantifikasinya. Negara berkembang memiliki sumber-sumber dan kemampuan yang kecil. Oleh sebab itu, melaksanakan politik luar negeri dalam skala yang lebih kecil. Pandangan ini berdasarkan asumsi bahwa perilaku semua negara (besar dan kecil, kaya atau miskin, berkembang atau maju) mengikuti model pengambilan keputusan aktor rasional.
Dikatakan pula, semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara juga dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh karena itulah, politik luar negeri negara- negara berkembang persis sama seperti negara maju namun dalam level lebih rendah. Pendekatan ini tidak memperhitungkan karakter khusus seperti modernisasi, pelembagaan politik yang rendah dan status ketergantungan dalam stratifikasi sistem global.
Salah satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi, menekankan kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksternal negara-negara berkembang.
Misalnya karya Weinstein tentang politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri3. Pertama, mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternal untuk pembangunan dalam negeri. Dan ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan dengan politik dalam negeri seperti mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukungan luar negeri, memanfaatka legitimasi untuk tuntutan-tuntutan politik domestik dan menciptakan simbol-simbol nasionalisme dan persatuan nasional.
Contoh lain kajian baru politik luar negeri negara berkembang menekankan sumber- sumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi faktor sumber-sumber untuk membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu berupa jumlah absolut sumber-sumber yang tersedia dengan faktor modernisasi yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan menggunakan sumber-sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang sebagai proses dimana negara-negara meningkatkan kemampuannya untuk mengontrol dan menggunakan sumber- sumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya kemampuan yang lebih besar dalam bertindak.
Unsur penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan pada posisi ekonomi politik aktor dalam startifikasi sistem global. Johan Galtung seperti dikutip Marshall R Singer melukiskan dengan jelas tentang stratifikasi dalam sistem internasional ini4. Galtung memaparkan bahwa sistem politik internasional mirip dengan sistem feodal yang terdiri dari negara besar alias "top dog", negara menengah dan regional serta negara berkembang atau negara "underdog" yang lebih kecil.
Dalam konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus utama. Negara berkembang eksis dalam tatanan dunia ini dicirikan dengan ketidaksederajatan antara negara dalam level pembangunan sosial ekonomi, kemampuan militer dan stabilitas politik dan prestise. Akibatnya, penetrasi luar terada proses pengambilan keputusan negara-negara berkembang. Aktor eksternal berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan determinasi sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah sudah ditulis tentang peranan Dana Moneter Internasional (IMF), perusahaan multinasional dan bantuan luar negeri negara-negara besar.
Dari berbagai pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang memadai terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya mempertimbangkan bahwa politik luar negeri adalah bagian dan paket situasi umum Dunia Ketiga dan merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan demikian, proses politik luar negeri tak dapat dipisahkan dari struktur sosial domestik atau proses politik domestik.
Menurut Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar negeri negara Dunia Ketiga perlu membuka "kotak hitam". Dunia Ketiga ini banyak dipengaruhi stratifikasi internasional. Meskipun negara berdaulat namun negara-negara Dunia Ketiga, dapat dirembesi, dipenetrasi dan bahkan didominasi. Oleh sebab itu penting pula melihat struktur global yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri.
Sedikitnya ada tiga persoalan besar yang dihadapi negara berkembang dalam melaksanakan politik luar negerinya. Pertama, dilema bantuan dan independensi. Negara Dunia Ketiga mengalami dilema anara memiliki bantuan luar negeri atau mempertahankan independensi nasional.
Kedua, dilema sumber-sumber dan tujuan yang lebih menekan di negara berkembang dibandingkan negara maju. Dilema ini menyangkut kemampuan para pengambil kebijakan mengejar tujuan di tengah realisme kemampuan negaranya.
Keempat, dilema keamanan dan pembangunan yang merupakan versi modern dari debat lama "senjata atau roti". Sejumlah pakar menilai politik luar negeri terutama merupakan proses atau aktivitas yang tujuan utamanya adalah mobilisasi sumber-sumber eksternal demi pembangunan masyarakat.
Dari paparan teoritis tentang berbagai pendekatan untuk memahami politik luar negeri sebuah negara dan spesifik lagi untuk mengetahui lebih jauh politik luar negeri negara berkembang, penulis menyusun sebuah kerangka analisis sendiri. Kerangka analisis itu terdiri dari empat pilar yakni, lingkungan domestik, orientasi politik luar negeri, proses pengambilan keputusan dan perilaku politik luar negeri.
Ada baiknya unsur-unsur ini diuraikan untuk mengetahui bobot dan rangkaiannya dalam meneliti input dan outputs politik luar negeri berkembang. Pertama, dalam unsur lingkungan domestik sejumlah faktor dianalisa untuk mengetahui apakah yang memperkuat dan menghambat politik luar negeri seperti geografi, struktur sosial, kemampuan ekonomi, kemampuan militer dan struktur politik. Dalam kajian struktur politik dibahas sejauh mana elemen ini memberikan peluang atau menghambat para pengambil keputusan. Menyangkut struktur politik diantaranya stabilitas, legitimasi, tingkat institusionalisasi dan tingkat dukungan publik. Faksionalisasi politik dan instabilitas domestik biasanya menghambat pelaksanaan sebuah politik luar negeri.
Tingkat yang rendah dalam institusionaliasi dan tingginya instabilitas politik di sebagian besar negara berkembang menghasilkan sejumlah hal. Salah satunya adalah keutamaan eksekutif, khususnya dalam pengembangan pusat presiden yang mendominasi proses pengambilan keputusan.
Orientasi politik luar negeri menyangkut salah satu komponen output politik luar negeri. Komponen lainnya adalah keputusan dan tindakan. Orientasi adalah cara elit politik luar negeri sebuah negara mempersepsikan dunia dan peran negaranya di dunia. Holsti mendefinisikan orientasi sebuah negara sebagai "sikap umum (sebuah negara) dan komitmen terhadap lingkungan eksternal, strategi fundamental untuk mencapai tujuan domestik dan tujuan serta aspirasi eksternal dan untuk menghadapi ancaman yang ada." Ia mendefinsikan tiga orientasi yakni isolasi, nonblok dan koalisi. Orientasi ini biasanya stabil. Perubahan berlangsung jika terjadi peralihan radikal struktur politik domestik, keseimbangan regional dan sistem global.
Llyod S Ethredge seperti dikutip Jensen melihat adanya dua orientasi individual terhadap sistem politik internasional yakni introvert dan ekstrovert. Kemudian ia membuat matriks dengan mengkaitkannya dengan unsur dominasi. Selanjutnya unsur proses pengambilan keputusan yang menekankan personalisasi karakter proses pengambilan keputusan dan lemahnya institusionalisasi di negara-negara berkembang. Sebenarnya pengambilan keputusan tidak sesedehana itu. Seorang pemimpin mungkin mengambil kata akhir untuk menentukan beberapa alternatif namun ia harus mempertimbangkan banyak variabel dan harus mengingat respon berbagai kelompok domestik yang berpengaruh. Dalam banyak contoh unit utama pengambilan keputusan bukanlah presiden secara individual melainkan presiden sebagai lembaga.
Perilaku politik luar negeri yang merupakan kerangka analisis berikutnya berisi tindakan dan posisi konkret serta keputusan negara yang diambil atau disahkan dalam melaksanakan politik luar negeri. Tindak-tanduk politik luar negeri merupakan ekspresi konkret orientasi dalam tindakan spesifik. Pada umumnya perilaku politik luar negeri  dicirikan dengan dukungan dari PBB.
Sementara itu studi politik luar negeri misalnya Indonesia sudah banyak dilakukan baik oleh akademisi dalam negeri maupun kalangan peneliti asing. Leo Suryadinata mengkategorikan kajian politik luar negeri dalam dua pendekatan yakni studi makro dan mikro5. Ia menyebutkan mereka yang studi makro antara lain Franklin Weinstein, Anak Agung Gde Agung dan Michael Leifer.
Sedangkan studi skala mikro misalnya dilakukan John M Reinhardt, JAC Mackie, David Mozingo dan Dewi Fortuna Anwar. Perlu ditambahkan pula studi mutakhir bersifat mikro terhadap politik luar negeri Indonesia dilakukan Rizal Sukma 6.
Studi terhadap politik luar negeri juga biasanya membaginya berdasarkan periode Sukarno dan Soeharto. Sebagian besar studi politik luar negeri era Soeharto diterbitkan tahun 1970-an dan awal 1980-an. Studi yang dilakukan Rizal selesai dalam bentuk disertasi tahun 1997. Jadi tergolong baru dibandingkan studi terakhir yang dilaksanakan Leo yang terbit tahun 1996.
 Dimensi politik luar negeri negara-negara berkembang lebih kompleks dibandingkan dengan model untuk studi politik luar negeri negara-negara maju. Lima model yang diajukan Jensen dalam kajian politik luar negeri, tidak mencukupi untuk menguraikan rangkaian yang terkait dengan politik luar negeri yang dilakukan negara sedang berkembang.
Unsur-unsur domestik seperti pembangunan ekonomi, politik, struktur sosial serta instabilitas yang terkandung dalam proses perumusan serta aktualisasi politik luar negeri sangat besar pengaruhnya. Bahkan dalam skala tertentu, negara berkembang cenderung memiliki instabilitas tinggi dibandingkan dengan negara maju sehingga polanya tidak ajeg. Disamping itu faktor sistem internasional dimana hegemoni negara besar juga berpengaruh, perilaku politik luar negeri juga mengikuti arus internasional. Ketergantungan ekonomi dan politik Negara berkembang terhadap negara besar menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan politik luar negerinya.
C.       GAMES THEORY
“Game Theory” merupakan sebuah pendekatan terhadap kemungkinan strategi yang akan dipakai, yang disusun secara matematis agar bisa diterima secara logis dan rasional. Game Theory digunakan untuk mencari strategi terbaik dalam suatu aktivitas, dimana setiap pemain didalamnya sama-sama mencapai utilitas tertinggi. Penerapannya banyak dilakukan di berbagai disiplin ilmu seperti biologi, militer, politik, diplomasi, ilmu sosial, dll.Teori ini dikembangkan untuk menganalisa proses pengambilan keputusan dari situasi persaingan yang berbeda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan.
Dalam teori permainan , para pemain seharusnya sibuk memilih alternatif saat itu juga yang menurut pandangan mereka, mungkin perlu digunakan dalam beberapa keadaan yang timbul di masa mendatang. Keadaan yang akan datang itu tadi digambarkan sebagai hasil dalam suatu permainan. Keseluruhan jajaran hasil yang mungkin akan didapatkan tersebut dapat didefenisikan sebagai prospek. Prospek setiap permainan memberi suatu harapan atau hadiah kepada setiap pemain. Hal ini digambarkan dalam teori permainan sebagai suatu hasil.
Strategi  merupakan konsep inti teori permaian.strategi mengharapkan rasionalitas para prilaku para pemain (meskipun ada kemungkinan pembuat keputsan atau pemain yang “rasional” itu tadi hanya berupa suatu bangun teoritis atau sebuah benda buatan manusia belaka).
Ralph M. Goldman mengatakan, strategi merupakan “suatu keseluruhan rencana brtindak yang dipakai seorang pemain dalam mencapai suatu hasil atau serangkaian hasil yang diinginkan dalam keadaan yang merugikan atau konflik “, dan  terdiri dari “semua kesatuan rencana yang berbeda-beda yang dimiliki pemain tersebut untuk menentukan tentang bagaimanakah cara untuk bertindak selanjutnya”. Sebenarnya , tidak hanya ada satu macam teori permainan saja akan tetapi ada beberapa macam teori permainan yang mengajukan berbagai macam struktur hasil yang mungkin diperoleh. Pada umum nya , mungkin ada :
  1. permainan yang dimainkan antara dua orang yang hasil nya tidak berjumlah nol
  2. permainan yang dimainkan antara dua orang yang hasil nya tidak berjumlah nol
  3. permainan yang jumlah pemain nya banyak dengan hasil yang berjumlah nol, dan
  4. permainan dengan jumlah pemain banyak yang hasil nya tidak berjumlah nol
Pada (1) hanya ada dua pemain, dan hasil yang diperoleh salah-satu pihak selalu sama jumlahnya dengan kerugian yang diderta pihak lain,besarnya hasil yang diperoleh kedua pihak tersebut adalah nol. Pada (2) dan  (3) , yang melibatkan dua atau banyak pemain didalam pertandingan tersebut , para pemain mungkin membagi secara sama perolehan hasil diantara mereka, dan besarnya hasil yang diperoleh salah satu pemain tidak selalu harus sama dengan kerugian yang diderita pemain lainnya. Pada (4), yang melibatkan tiga pemain atau lebih , situasi permainan menghasilkan banyak sekali ciri baru , dan ada kemungkinan bagi dua pemain atau lebih akan bekerja sama melawan pemain lainnya dengan cara menyatukan sumber-sumber mereka yang mengambil keputusan kolektif selama berlangsungnya permainan tersebut
Beberapa Penerapan Teori Permainan : Morton Kaplan , William H. Riker , Thomas C. Schelling
Kaplan menggambarkan analisa permainan sebagai ”alat terbaik yang dapat dipakai untuk menganalisa problema mengenai strategi” dan beranggapan bahwa seandainya dipakai sebagaimana mestinya maka analisa permainan tersebut “mungkin akan memperbesar pemanfaatan keberhasilan dalam kebijaksanaan “
 Penulisan Kaplan yang kasar dan lepas hampir tidak sebanding dengan pernyataan mengenai arti penting teori tersebut. Teori permainan tersbut tentu saja tidak dapat diterapkan pada fenomena politik dengan cara yang telah dilakukan oleh Kaplan . “ Dilema Kaplan yang mendasar “, seperti yang dikatakan Meehan dengan tepat, “ adalah suatu keinginan untuk mempergunakan teori permainan dengan cara yang benar-benar tidak dapat dibenarkan dewasa ini “ . seperti yang dikatakan oleh Anatol Rapoport, teori permainan terapan sedikit banyak haruslah memberikan cara-cara pemecahan riil untuk problema yang riil yamg sangat sulit ditangani di dalam matrik permainan “ . satu-satu nya cara untuk menerapkan teori permainan itu guna melayani kebutuhan penyelidikan politik dengan mengarahkannya pada tujuan lain dan inilah yang telah dilakukan oleh Schelling dalam penyelidikan mengenai konflik dan Riker dalam penyelidikan tentang koalisasi yang pertama adalah dengan menggunakan perangkat kosneptual teori permainan tersebut sebagai suatu alat untuk menjelaskan, dan yamg kedua adalah dengan menggunakan nya sebagai suatu dasar penyelidikan terhadap fenomena empiris. Sementara menguji teori permainan itu, mereka telah mengubah teori tersebut secara sedemikian radikalnya sehingga teori itu telah kehilangan sejumlah besar formalitas dan kekakuannya dan telah menjadi lebih bermanfaat bagi penyelidikan politik.
Seperti Kaplan , Riker juga memoergunaka model teori permainan untuk memahami politik internasional . model yang dipakainya adalah suatu permainan yang jumlah permainannya banyak dan hasilnya nol.yang menharapkan para pemain yang rasional , informasi yang lengkap , pembayarannya tambahan atau tawar-menawar di antara para pemain . Riker telah menggunakan tiga prinsip pokok yang dikembangkannya dari model teori permaian tersebut pada data empiris atau historis. Prinsip pokok tersebut adalah prinsip “ukuran “ , prinsip “strategi”, dan prinsip “ disequilibrium “. Pemehamannya akan prinsip ukuran mendorongnya menarik kesimpulan bahwa usaha-usaha untuk membentuk suatu koalisasi tidak hanya bertujuan memperbesar koalisasi itu sendiri .ukuran besar nya koalisasi tersebut dipertahankan hanya sebesar seperti para pembuat keputusaannya yakin akan meraih kemenangan . hal ini juga tergantung pada informasi yang diperolah mengenai berbagai prinsip mengenai koalisasi . prinsip informasi tersebut merupakan akibat wajar dalam model Riker untuk prinsip ukuran dan selanjutnya dipergunakan dalam penyelidikan mengenai proses-proses yang tercakup daalam pembentukan koalisasi .koalisasi seperti yang dikatakan Riker , pada mulanya adalah “proto koalisasi “ dan berkembang dengan bertambahnya anggota yang di beri “ pembayaran tambahan “ apabila satu proto-koalisasi terbentuk,maka anggota yang berada diluar koalisasi tersebut menjadi takut bahwa proto koalisasi itu akan melakukan agresi membentuk proto koalisasi lain. Tetapi tujuannya adalah mengubah suatu “proto-koalisasi” menjadi “ koalisasi yang menang “ . bagaimana caranya melakukan hal itu ??? di sinilah prinsip strategi muncul. Strategi dibutuhkan dalam rangka memperbesar kemungkinan meraih keberhasilan dalam mengubah suatum proto-koalisasi menjadi posisi yang menang.
Yang ketiga, ada prinsip disequilibrium. Model yang dipilih adalah yang tidak stabil dan tidak memiliki ekuilibrium atau keseimbangan dan seandainya berhasil dicapai suatu ekuilibrium yang bersifat sementara maka ekuilibrium tersebut segera tumbang.dengan demikian, Riker telah mencoba menjelaskan bahwa sangatlah keliru kalau kita beranggapan bahwa politik, hanya karena politik tersebut rasioanl ,harus stabil..dalam pembentukan koalisasi, unsur instabilitas (ketidakstabilan) dan disequilibrium (ketidakseimbangan ) selalu ada.
Ilmuan politik terkemuka lainnya yang telah menerapkan teori permainan pada politik internasional secara lebih efektif daripada Kaplan dan Riker adalah Schelling. Karya Schelling merupakan “suatu sumbangan besar bagi perkembangan teori permainan dan sekaligus suatu contoh yang baik mengenaiketidakbergunaan apa yang dinamakan sebagai suatu pendekatan teori permainan bagi penyelidikan tentang problem politik. Sebenarnya Schelling, sedang berusaha mencari suatu teori permainan yang dapat diterapkan secara lebih bermanfaat oleh ilmuan sosial dan, oleh karena itu, siap melepas kelengkapan formal dan kecermatan teori tersebut dalam rangka membuatnya bermanfaat.
Schelling mengembangkan suatu pendekatan baru terhadap konsep “langkah “ (move). Penggolongannya langkahnya berbeda dengan penggolongan teori permainan yang lazim yang bersifat abstrak dan formal, dan akan mempertimbangkan aspek-aspek psikologis dari pemilihan. Schelling juga berusaha mengadakan perubahan pada landasan pemikiran strategis tersebut. Menurut dia, pemilihan strategi lebih ditentukan oleh pertimbangan empiris daripada sekedar pekerjaanformal belakadan meencangkup suatu bagian yang penting dari penyelidikan itu , suatu usaha memahami permainan yang “ didorong olrh hasrat campuran “tersebut.
Teori Permainan : Suatu Penilaian
Teori permainan didasarkan pada asumsi tertentu yang mungkin memerlukan dilakukannya suatu penilitian yang cermat , walaupun ketika diterapkan oleh para penganjurannya yang terkemuka, teori tersebut telah mengalami perubahan tertentu. Tetapi sebegitu jauh asumsi tersebut telah menjadi ciri yang melekat dalam teori sehingga akan sulit bagi kita untuk samakali meninggalkan asumsi tersebut.
Pertama, teori tersebut menanggap bahwa para penbuat keputusan benar-benar rasional, tidak memikirkan unsur moral dalm keputusan mereka dan memiliki informasi lengkap yang mungkin mereka peroleh.
Yang kedua , inilah hal yang di uraikan oleh oleh Joseph Fletcher , teori permainan tidak tertarik pada etika seseorang, namun hanya pada apa yamg disebut nya sebagai “ etika situasi” . pemain menaruh perhatian pada hasil dan bukan pada proses lanjutan , pada strategi yang mungkin akan dipilih mitranya dan bukan pada mengapa mitranya tadi memilih strategi tertentu tersebut.[1]










BAB III
POLITIK BANGSA MASA KINI

A.      PENGERTIAN POLITIK
Secara etimologi politik berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata polistaia.Polis diartikan negara, kota yakni suatu masyarakat yang mampu mengurus diri sendiri atau mandiri, sementarat a ia berarti urusan. Secara sederhana dari tata bahasanya politik dapat diartikan urusan yang mengurusi masalah negara kota. Menurut para pakar dan ahli politik.
1.         Thomas M. Magstadt dan Peter M. Schotten (1988:7), politik adalah segala sesuatu mengenai bagaimana manusia diperintah, yang berkaitan dengan tatanan, kekuasaan, dan keadilan.
2.         Cecep Darmawan (2009), politik ialah segala sesuatu yang berkenaan dengan negara, termasuk didalamnya kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, maupun pembagian dan pengalokasian nilai- nilai didalam masyarakat yang bersangkutan.
Pengertian politik dapat dilihat dan diklasifikasikan juga dalam ranah- ranah sebagai berikut:
1.         Politik dalam arti kepentingan
Politik adalah ilmu yang menjelaskan tentang kepentingan, baik dalam kontek individu, kelompok, cara meraih, merebut, atau memperhatikan kepentingan perorangan maupun kelompok.
2.         Politik dalam arti kebijakan
Politik adalah aturan main dalam mengurusi masalah kebijakan- kebijakan dalam mempertahankan kepentingan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dengan karakteristik terjadinya sebuah pengembangan makna politik, luas dan berkembangnya kajian atau objek ilmu politik.


3.         Politik secara institusional
Politik adalah ilmu yang mempelajari lembaga-lembaga politik seperti negara, pemerintah, DPR dsb semuanya terkait dengan kajian ilmu politik.
4.         Menurut hakikat politik itu sendiri
Politik adalah ilmu yang meneliti manusia dalam usahanya memperoleh kekuasaan(postulation approach), tentang kehausan kekuasaan, motivasi memperoleh dan menggunakan kekuasaan (psocologys approach) juga sebagai kajian kekuasaan sebagai gejal sosial, dimana kekuasaan itu berlaku atau digunakan sebagai alat untuk menjelaskan keadaan masyarakat(sociologis approach).

B.       SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU POLITIK
1.         Asal muasal kemunculan ilmu politik
Jika hanya dilihat dari rumpun ilmu social maka politik masih dikatakan sangat muda karena politik baru lahir apda abad ke-19. Namun jika kita pandang dari objek kajian politiknya itu sendiri secara orisinil maka ilmu politik usiannya sudah sangat tua, bahkan sampai disebut sebagai ilmu social tertua. Untuk lebih jelasnya kita bisa mengkajinya dari sudut pandang kajian orisinalnya, menurut sejarah ilmu politik telah ada sejak tahun 450 S.M. (Budihardjo, 2008:5). Buktinya pada saat itu pemikiran mengenai negara telah ada di Yunani kuno, hal ini diperjelas oleh karya-karya Herodicus (ahli sejarah), Plato(Bapak filsafat politik), Aristoteles (Bapak ilmu politik) yang telah meletakan dasar-dasar ilmu politik.

2.         Perkembangan politik di Indonesia
Jika kita mengkajinya lebih dalam, disesuaikan dengan pengertian politik secara umum, maka kita bisa menyebutkan bahwa politik di Indonesia juga telah lahir jauh-jauh hari tepatnya sejak masyarakat ada, lalu mengkaji konsep mengenai masyarakatnya, dan terlebih pada upaya-upaya pemilihan para pemimpin mereka. Perkembangannya dilanjutkan juga oleh masyarakat yang membentuk suatu kerajaan. Maka mereka telah menggauli ilmu dan kajian politik. Hanya saja yang perlu kita garis bawahi adalah perbedaan khususnya saja, antara politik jaman dahulu dengan politik masa kini. Dan juga mungkin mereka tidak mengetahui kalau-kalau yang mereka lakukan itu aalah proses politik.
Memang sangat jauh berbeda sesuai dengan tahap perkembangan. Perkembangan yang kami maksudkan yaitu perkembangan kebudayaan, peradaban, latar belakag pendidikan dan yang tidak kalah penting dilihat dari perkembangan penmgaruh bagsa luar yang masuk kedalah bangsa atau peradaban suatu bangsa atau negara. Ditambah lagi dengan perkembangan. Ilmu Pengetauhan dan Teknologi yang saat ini sedang kita rasakan bersama.
Tentulah politik abad lalu dengan abad sekarang jauh berbeda. Kendati demikian jika melihat dari perkembangan pola, bentuk dan konsep mengenai politiknya itu sendiri maka kami sangat optimis meramalkan bahwa politik dinegara kita akan teurs mengalami perkembangan dan gejolak yang lebih besar dari pada yang sekarang kita alami dan rasakan ini. Mungkin itu lebih baik ataupun sebaliknya malah lebih buruk (dilihat dari banyak sedikitnya memberikan maslahat bagi masyarakat).

C.      KONSEP DASAR ILMU POLITIK
Jika kita kaji lebih dalam mengenai objek kajian ilmu politik maka jawabannya akan sangat banyak dan beragam, namun agar kajiannya menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dipahami maka kami akan menguraikan dalam kajian-kajian sebagai berikut:
1.         Negara
Negara adalah organisasi masyarakat yang memiliki wilayah, memiliki kekuasaan dan diaukui secara de yure dan de facto oleh angotanya (rakyat) juga oleh beberapa negara lain secara sah dan ditaati oleh raakyatnya. Dalam hal ini Negara berfungsi sebagai agen bagi proses pelaksanaan kepentingan politik atau aspirasi masyarakat. Adapun yang menjadi tugas negara dalam hal ini ialah:
a.         Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan pada masyarakat
b.        Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat umum.

2.         Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk memengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain dengan sedemikian rupa sehingga tingkah lakunya sesusi dengan yang dinginkan oleh orang atau kelompok yang memepengaruhinya (Miriam Budiardjo,1992:35). Dalam hal ini kekuasaan juga jelas sangat terkait erat dengan politik. Kekuasaan menjadi objek yang cukup vital dalam kajian politik. Dan selama kekuasaan itu diingikan untuk ada maka selama itu pula politik akan tetap ada dalam kehidupan umat manusia.

3.         Kebijakan dan Pengambilan Keputusan
Berpolitik adalah bertindak sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu dalam mengarahkan tindakan pada sebuah tujuan. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa politik merupakan alternatif yang diterapkan untuk mencapai suatu tujuan, salah satunya tujuan untuk mengangkat seorang pemimpin, maka politiklah alternatifnya.

4.         Konflik dan Kerjasama
Hal ini pula yang cukup menjadi sorotan penting dalam kajian ilmu politik. Karena manusia itu pada dasarnya memiliki keinginan dan harapan masing-masing serta diberkahi cara pandang yang berbeda maka hal ini akan mengakibatkan kemungkinan munculnya kerjasama atau sebaliknya konflik. Dalam dunia perpolitikan hal ini sangat mungkin terjadi. Namun itu adalah hal yang wajar dan alamiah.

D.      PARTAI POLITIK
1.      Definisi partai politik.
a.       Menurut Carl J. Friedrich, partai politik adalah sekelompok manusia yang teroragisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan terhadap pemerintahan (bagi pimpinan partainya), dimana kekuasaan ini akan memberikan manfaat yang bersifat idiil dan materil kepada anggota partainya.
b.       R.H Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang memanfaatkan kekuasaannya dengan tujuan untuk menguiasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
c.        Sigmun Meuman mengartikan partai politik sebagi organisasi dari aktivis- aktivis politik yang berusaha untuk mengusai kekuasaan didalam pemerintahan serta merebut dukungan rakyat, yang didasari oleh persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

2.      Tujuan dan fungsi partai poltik
Tujuan partai politik sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2008,
a.       Tujuan umum:
·           Mewujudkan cita-cita nasional bangsa
·           Menjaga dan memelihara keutuhan NKRI
·           Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila
·           Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia


b.      Tujuan khusus:
·           Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintaan
·           Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
·           Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3.      Fungsi Partai politik:
a.       Sebagai sarana komunikasi politik
b.      Sebagai sarana sosialisasi politik
c.       Sebagai sarana rekrutmen politik
d.      Sebagai sarana pengatur konplik

E.       DEMOKRASI
Demokrasi berasal dari bahasa yunani dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos atau kratein yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Secara istilah demokrasi diartikan pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, baik secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Unsur pokok demokrasi:
1.      Dukungan yang luas kepada pemerintahan
2.      Kompetisi kekuasaan
3.      Pergantian kekuasaan
4.      Perwakilan umum
5.      Kekuasaan mayoritas
6.      Hak dan perbedaan pendapat dan pengabaian perintah
7.      Persamaan hak politik
8.      Konsultasi umum
9.      Kebebasan pers.
Model-model demokrasi :
1.      Sistem presidesial (Amerika)
2.      Sistem parlementer (Inggris)

F.       INTEGRASI, DEMOKRASI DAN PEMBAHARUAN POLITIK
Pada waktu anggota DPR/MPR periode 1987-1992 dilantik 1 oktober 1987, para anggota mengangkat sumpah/janji, bahwa mereka akan membela pancasila sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup dan sebagai ideologi nasional. Upacara pelantikan tersebut merupakan puncak penggalangan politik, yang dirintis sejak Seminar II Angkatan Darat bulan Agustus 1966 dan disempurnakan dalam Seminar Hankam bulan November 1967, yang akan dibangun selesai runtuhnya Orde Lama.
Dasar rumusan ideologi pancasila sebagai dasar negara resmi dimulai setelah Sidang MPR 1978. Akan tetapi usaha pertama ke arah itu Dasar pemikiran waktu itu adalah bahwa kekacauan ideology menimbulkan kekacauan kehidupan politik. ³terlalu banyak peta, terlalu banyak petunjuk´, begitulah almarhum Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad waktu itu, dalam membahas tantanan dan proses politik setelah 1966-1967.
Pokok pemikiran Seminar II Angkatan Darat dan Seminar Hankam itu berkisar pada dua masalah.
1.      Kesatuan dan persatuan harus dijaga, berapapun biayanya,
2.      Stabilitas politik merupakan prasyarat usaha-usaha lain, seperti pembangunan ekonomi, akan tetapi kepanglimaan politik diubah dalam artian, syarat-syarat kehidupan politik tidak lagi didasarkan pada kepanglimaan partai, melainkan kepanglimaan peran unggul ABRI. Karena itu, meskipun prioritas pembangunan adalah ideology pembangunan´; kepanglimaan politik berangsur ditangani oleh tritunggal ABRI-Golkar-Kopri, terutama setelah Pemilu 1971.
Dengan segala kelemahan dan kekurangan yang masih ada, ABRI adalah satu-satunya kelembagaan sosial d-politik yang mempertahankan Indonesia secara rasional menyeluruh. Langkah-langkah perluasan kehidupan demokrasi di Indonesia serta pemikiran-pemikiran pembaharuan hanya dapat dilakukan, sejauh persepsi tentang persatuan dan kesatuan tidak terancam. Batasan ini perlu dikemukakan, arena perdebatan tentang ³demokratisasi kehidupan politik´dan´pembaharuan politik´hanyalah dapat dilakukan dengan realistis, apabila kedudukan unggul atau keporosan ABRI diakui sebagai premis dasar.
Oleh karena itu, salah satu faktor politik yang harus diakui ialah, bahwa untuk jangka waktu 5-10 tahun mendatang, bobot dari keperosotan peran ABRI akan tetap memainkan peran yang paling menentukan, meski bukan peran satu- satunya.
Sebabnya sederhana saja. ABRI adalah satu-satunya kelembagaan sosial- politik, yang mampu menyelaraskan satunya ideology dengan organisasi. Tanpa organisasi ideology akan terbang layang sebagai gagasan lepas. Dengan melalui organisasi, ideology menjadi peta bumi politik, pegangan yang yang dipakai sebagai dasar berbuat, bertindak, dan berkarya. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan dalam geografi tanah air kita yang terbentang luas, ABRI adalah ABRI adalah kelembagaan yang paling tidak acak di antara kelembagaan sosial-politik lainnya yang amat acak.
Sekarang sudah lebih 20 tahun kita bergumul dengan masalah- masalahpersatuan dan kesatuan. Sudah tiba saatnya untuk memikirkan bagaimana mengisi integrasi nasional tadi dengan demokrasi dan pembaharuan.
Generasi yang lahir mereka sepenuhnya mekar dan dewasa dalam alam serba pembangunan. Spontan, berani dan kreatif, mereka tidak ada cacat mental ³pernah merasakan masa penjajahan´ yang dialami kakek-kakek mereka. Jiwa pembaru-ditambah dengan kesadaran, bahwa bangsanya terlibat dalam persaingan ketat dengan kesadaran, bahwa bangsanyaterlibat dlam persaingan ketat dengan bangsa lain didunia membuat mereka hampir-hampir menerima sebagai wajar persoalan mendasar, seperti kesatuan-kesatuan.
Dalam pada itu, kita harus sadar, bahwa perubahan cepat yang telah kita alami selama 20 tahun lebih, mau tidak mau memaksa kita untuk memikirkan perlunya pemikiran kea rah partisipasi yang lebih luas daripada yang telah dikerjakan selama ini. Tahap sentralisasi dan integrasi sebagai sasaran pokok, perlu dilengkapi dengan tahap persiapan demokratis melalui keikutsertaan yang lebih tersebar. Kunci persoalannya adalah bagaimana kita mengelolanya sedemikian rupa, sehingga proses demokratisasi tidak diarikan sebagai tahap menuju anarki, apalagi disentegrasi. Sebaliknya setiap tahap harus dapat mencari bentuk-bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik yang makin membuahkan rasa yang memiliki yang lebih luas di kalangan pimpinan masyarakat dari berbagai kalangan dan golongan.
Gagasan pembaharuan perlu dikaji secara konseptual dan dicooba secara operasional secara bertahap, agar tiap-tiap kesalahan atau kemelesetan operasional dapat dikoreksi dalam batas-batas kemampuan kendali. Dengan demikian fungsi integrasi diperkuat oleh demokratisasi dan dihidupkan oleh pembaharuan-pembaharuan yang selektif. Setiap keberhasilan dalam mata rantai integrasi, demokratisasi dan pembaharuan, pada gilirannya memperkuat tiap satuan dalam mata rantai. Tapi karena dapat menyalurkan aspirasi yang berbeda-beda setiap lingkungan masyarakat, daerah, adat, bahasa dan keagamaan yang beraneka ragam, tanpa kehilangan kerangka dasar persatuan dan kesatuan.

G.      PEMBANGUNAN POLITIK MASYARAKAT
Pada kenyataannya masyarakat kita belum semuanya paham dan mengerti mengenai politik baik secara khusus ataupun secara keseluruhan. Maka dari itu dengan tujuan untuk memberikan pengertian dan pemahaman kepada masayrakat perlu kiranya dilakukan yang namanya pendidikan politik. Hal ini bisa dilakukan dalam pendidikan formal, informal ataupun non formal. Hal perlu mengingat seperti yang kita tau saat ini paradigma masyarakat tentang politik sangat kurang baik, mereka memandang dan berkata bahwa politik itu kotor. Benarkah? Karena hal itu sehingga angka golput dalam beberapa pemilihan umum begitu meningkat signifikan.
Selain itu tujuan dari pendidikan politik itu ditujukan untuk membangun dan meningkatkan partisipasi politik, guna mewujudkan tujuan dari politik itu sendiri seutuhnya sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang No.2 Tahun 2008 tentang partai politik.

H.      POLITIK MODERNISASI
Beberapa konsekuensi modernisasi harus diperhatikan seiring dengan pembicaraan yang dibahas. Orang-orang mungkin merasa kehilangan kepribadian moral mereka. Komunitas-komunitas yang mungkin kita kenal telah berubah bentuk. Masyarakat yang sedang dalam proses modernisasi diri mencari bentuk baru bagi kesempurnaan, kepastian baru untuk menggantikan sesuatu yang telah hilang melalui perubahan. Semua masyarakat yang memodernisasikan diri berada dalam proses transisi.
Efek kondisi-kondisi selama modernisasi adalah tekanan yang yang berlebihan pada kekuasaan. Kekuasaan adalah kompensasi bagi kelemahan dan disintegrasi serta yang paling potensial untuk dipenuhi. Proses modernisasi menghasilkan suatu dorongan kuat pada individu, kepemimpinan, serta kebengisan pada suatu waktu di saat masyarakat industri yang kompleks bergelut dengan masalah hilangnya individualitas, dengan alienasi dan perasaan individu yang berlebihan.
Modernisasi merupakan suatu tujuan yang tidak dibatasi pada sebuah tempat atau wilayah tunggal, pada sebuah Negara atau kelas tertentu atau pada sekelompok rakyat dengan hak-hak istimewa. Modernisasi dan keinginan untuk itu, menjangkau seluruh dunia. Jadi, modernisasi adalah sejenis harapan yang khusus. Melekat di dalamnya adalah seluruh revolusi sejarah masa lampau serta seluruh keinginan manusia yang paling tinggi. Apa pun arah yang diambilnya perjuangan untuk menjadi modern memberi arti tertentu bagi generasi kita. Ia menguji pranata dan kepercayaan lama kita.. ia meletakkan Negara kita di bursa gagasan dan ideologi. Begitu kerasnya kekuatan yang terjadi sehingga kita terpaksa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru terhadap pranata kita sendiri. Setiap Negara, apakah sudah modern, atau sedang menjadi modern, sama-sama mengharap dan takut akan hasilnya. Contohnya masalah politik kembar yang dihadapi semua pemerinyah yaitu perubahan yang tertata serta suksesi damai di dalam pemerintahan.
Pranata demokratis seperti yang kita ketahui telah mengalami transformasi yang begitu radikal di kebanyakan Negara yang sedang menjadi modern sehingga merupakan penyimpangan yang membuta bagi kita kalau tidak mengakui bahwa pranata-pranata tersebut telah berubah menjadi sesuatu yang lain. Pendekatan untuk melihat masyarakat seperti itu sebagai masyarakat yang prademokratis membawa kita pada pandangan bahwa pranata-pranata paksaan tertentu mungkin diperlukan bagi pengaturan dan integrasi dari suatu komunitas yang sedang menjadi modern.
Aspek dinamis dari modernisasi bagi studi politik dapat dinyatakan dalam proposisi umum, bahwa modernisasi adalah suatu proses meningkatnya kompleksitas masalah-masalah manusia di dalam mana kepolitikan harus bertindak. Inilah sebabnya mengapa ia menciptakan sejumlah masalah politik. Di dalam ukuran besar, politik menjadi urusan melingkupi deferensiasi peran sekaligus mengintegrasi stuktur organisasional. Namun tindakan-tindakan politik yang muncul dari meningkatnya kompleksitas semacam itu bukanlah tanggapan murni dari para pemimpin politik diluar konteks politik. Yang dimaksud konteks politik tersebut adalah dimana pemerintah melangsungan kewenangan karena struktur-strukturnya berubah begitu pula tanggapan politiknya.
Bagi para pengamat yang belajar di dalam tradisi Barat dan menaruh perhatian pada masalah-masalah masyarakat industry modern, suatu cara yang bermanfaat untuk menata hubungan ±hubungan sosial dan politik bagi tujuan- tujuan perbandingan adalah melalui studi tentang stratifikasi social.
Modernisasi mungkin bisa digambarkan didalam masyarakat nonindustri sebagai suatu penggantian (transposisi) peran-peran tertentu secara profesional, teknis, administrative serta penggantian institusi-institusi yang mendukung peran-peran ini seperi rumah sakit, sekolah, universitas,. Meskipun demikian, masyarakt nonindustri yang sedang menjadi modern kekurangan daya dorongan pemersatu seperti masyarakat industry.
Beberapa ciri modernisasi yang terdapat dalam masyarakat industri modern oleh F.X Sutton:
1.      Keunggulan norma-norma universal, spesifik dan pencapaian.
2.      Tingginya derajat mobilitas social (secara umum, dan tidak harus dalam pengertian mobilitas vertical).
3.      System pembagian kerja yang berkembang baik, terpisah dari struktur social lainnya.
4.      System kelas ³egaliter´ didasarkan atas pola-pola umum dari pencapaian kerja.
5.      Adanya µasosiasi yang secara fungsional memiliki struktur khusus dan non-askriptif. [2]







BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Teori alienasi adalah teori yang merujuk kepemisahan hal hal yang secara alamiah milik bersama, atau membangun antagonisme diantara hal hal yang dianggap pas sudah berada dalam kesetaraan.
2.    Dimensi politik luar negeri Negara berkembang lebih kompleks dibandingkan dengan model untuk studi politik luar negeri  negara maju.
3.    Games theory merupakan sebuah pendekatan terhadap kemungkinan strategi politik yang akan dipakai, yang disusun secara matematis agar bisa diterima secara logis dan rasional.
4.    Politik pada dasarnya adalah hal yang baik untuk diketahui, dipahami untuk diaktualsasikan dalam aktivitas dan partisifasi aktiv masyarakat dalam setiap kegiatan perpolitikan bangsa. Apalagi beberapa hari lagi pesta demokrasi akans segera dilaksanakan. Kita akan dapat mengidentifikasi permasalahan dunia perpolitikan negara kita. Dengan melihat langsung nanti pada pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Jika masyarakat Indonesia partisifasif berarti politik kita baik-baik saja, sebaliknya jika nantinya banyak yang golput atau bahkan tidak memberikan suaranya sama sekali, mak perpolitikan kita harus segera mendapat perhatian yang cepat dan serius. Mengingat saat ini sepertinya telah tertancap dalam paradigma masyarakat mengenai kotornya politk. Wallau alam.
B.       Saran
1.    Dalam pembahasan teori alienasi harus dicari suatu kesetaraan dalam pemisahan antagonism dan perlu ditingkatkannya pemahaman pembahas  tentang teori tersebut.
2.    Dalam pemahaman teori politik luar negeri Negara berkembang harus adanya pembahasan dan contoh yang lebih kompleks tentang hal tersebut agar mudah dicerna oleh pembaca.
3.    Perlu ditingkatkannnya ketelitian dalam pelaksanaan games theory oleh para pelaku politik karena hal ini mengandung unsur aritmatika.

















DAFTAR PUSTAKA
http://blog.unila.ac.id/harisun/files/2010/01/Makalah-Teori-Politik.doc


[1] http://blog.unila.ac.id/harisun/files/2010/01/Makalah-Teori-Politik.doc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar